Shalat dengan Shaf Tidak lurus Karena Diselingi Jalan, lantai Atas dan Sungai
Shalat berjamaah merupakan bagian penting dalam ibadah umat Muslim yang memiliki banyak aturan dan ketentuan. Salah satunya terkait dengan posisi imam dan makmum dalam shalat berjamaah, terutama jika mereka terpisah oleh berbagai penghalang, baik itu jalan, sungai, atau bahkan bangunan bertingkat. Beberapa madzhab memberikan pendapat yang berbeda mengenai sah atau tidaknya shalat berjamaah dalam kondisi tersebut. Artikel ini akan membahas berbagai pandangan ulama mengenai hal ini, serta mengupas hukum shalat berjamaah dalam berbagai situasi, mulai dari jarak antara imam dan makmum, adanya penghalang, hingga kondisi masjid bertingkat yang menjadi pertanyaan di era modern.
Para ulama berbeda pendapat menyikapi hal demikian, sehingga sebagai seorang awam, kita bisa langsung mengikuti pendapat beliau sebagai dasar mengerjakan sesuatu ;
Pendapat Imam Syafi'i
Imam Syafi’i berpendapat jika Imam berada di dalam masjid sedangkan
makmum ada di luar masjid maka tidak mengapa jika terpisah sampai jarak
300 depa terhitung dari akhir bangunan masjid. Tidak mengapa pula jika
ada pemisah atau terhalang jalan, sungai besar yang bisa dilalui perahu
dan dapat direnangi. (Fiqhul Islam Wa’adillatuhu Jilid 2 Hal 353)
Al Hasan berkata : “Tidak mengapa engkau shalat sedangkan antara engkau dan imam terdapat sungai” (Fathul Bari Jilid 4 Hal. 397)
Pendapat Imam Malik
Imam Malik bin Anas (Madzhab Maliki) berpendapat adanya penghalang
baik sungai jalan atau tembok tidak mencegah sahnya shalat berjamaah
selama ia bisa mengetahui gerakan imam dan dapat mendengar takbirnya
(komando gerakan imam). Hal ini mengambil keumuman hadits :
Dari Anas bin Malik, beliau bersabda: “Sesungguhnya dijadikannya imam itu untuk diikuti.” (H.R. Bukhari No. 365 dan Ad-Darimi No. 1228)
Maka Imam Malik berpendapat sepanjang makmum dapat mengikuti gerakan
imam, dan dapat mendengar suara takbir imam, sah shalat berjamaahnya
walaupun terhalang jalan, sungai atau lainnya kecuali shalat jum’at yang
memang disyaratkan agar barisannya bersambung. Jika seorang makmum
mengikuti imam shalat jum’at di rumah yang bersebelahan dengan masjid
maka shalatnya batal karena bergabungnya itu adalah syarat sahnya shalat
jum’at (Fiqhul Islam Wa’adillatuhu Jilid 2 Hal 351)
Shaf Tidak Bersambung Di Lapangan
Abu Hanifah (generasi tabi’in) yaitu imam madzhab Hanafi berpendapat
bahwa shalat di lapangan hendaknya dalam satu barisan itu tidak kosong
lebih dari jarak 9 orang, sedangkan jika satu barisan shof itu ada
kosong kurang dari sembilan orang tidak mengapa.
Imam Syafi’i mengatakan jika imam dan makmum berada di padang pasir
(lapangan) jika barisan makmum terpisah dengan imam sampai jarak lebih
dari 300 depa maka tidak mengapa dan sah shalat berjamaah asalkan tidak
terhalang dinding, pintu atau jendela atau jalan yang orang dan
kendaraan berlalu lalang di situ atau sungai besar yang memisahkan imam
dan makmum.
Madzhab Hambali berpendapat jika imam dan makmum berada di lapangan
maka sholat berjamaah sah dengan syarat makmum dapat melihat punggung
imam, maka jika makmum tidak melihat imam atau sebagian dari punggung
imam maka tidak sah shalat berjamaah meskipun makmum masih dapat
mendengar suara takbir imam. Keharusan melihat punggung Imam oleh Imam
Ahmad bin Hambal adalah berdasarkan hadits Aisyah :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salam berkata, telah
mengabarkan kepada kami ‘Abdah dari Yahya bin Sa’id Al Anshari dari
‘Amrah dari ‘Aisyah berkata, “Pada suatu malam Rasulullah
s.a.w.pernah shalat di kamarnya, saat itu dinding kamar beliau tidak
terlalu tinggi (pendek) hingga orang-orang pun melihat Nabi s.a.w.
berdiri shalat sendirian (munfarid). Lalu orang-orang itu pun berdiri
dan shalat di belakang beliau (bermakmum pada Beliau), hingga pada pagi
harinya orang-orang saling memperbincangkan kejadian tersebut. ” (H.R. Bukhari No. 687)
Hadits di atas menurut Imam Ahmad menunjukkan dibolehkannya terpisah
dan adanya penghalang antara Imam dan Makmum asalkan masih dapat melihat
sebagian punggung imam.
Sementara Imam Ahmad juga mengatakan tidak sah shalat berjamaah jika
antara imam dan makmum itu terpisah oleh sungai yang bisa dilewati
perahu demikian pula jika terputus oleh jalan yang cukup lebar bisa
dilewati kendaraan. (Fiqhul Islam wa ‘Adillatuhu Jilid 2 Hal. 354)
Sementara itu Imam Malik (Madzhab Maliki) secara total membolehkan
shalat di lapangan dimana Imam dan Makmum terpisah oleh jalan, sungai
dan dinding, sehingga sah shalat jamaahnya.
Shaf Terpisah Dengan Bangunan Bertingkat
Pada masa kini sebagian masjid ada yang bertingkat beberapa lantai. Maka dalam hal ini ada empat kemungkinan yaitu :
- Imam Berada di Lantai Atas Sendirian Dan Makmum Berada di Lantai Bawah
- Imam Dan SebagianBarisan Makmum Ada Di Lantai Atas dan Sebagian Barisan Makmum Berada Di Lantai Bawah
- Imam Berada di Lantai Bawah Sendirian Dan Makmum Berada di Lantai Atas
- Imam Dan SebagianBarisan Makmum Ada Di Lantai Bawah dan Sebagian Barisan Makmum Berada Di Lantai Atas
Mari kita bahas hukum dari empat kemungkinan ini satu persatu :
A. Imam Berada di Lantai Atas Sendirian Dan Makmum Berada di Lantai Bawah
Sebagian ulama mengatakan hal ini tidak boleh dengan berdalil pada hadits yang melarang imam berada lebih tinggi dari makmum :
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ibrahim telah menceritakan
kepada kami Hajjaj dari Ibnu Juraij telah mengabarkan kepada saya Abu
Khalid dari Adi bin Tsabit Al-Anshari telah menceritakan kepada saya : “Seorang
laki-laki yang pernah bersama Ammar bin Yasir sewaktu di Mada`in,
ketika iqamat shalat telah dikumandangkan, ‘Ammar maju untuk menjadi
imam dan dia berdiri di atas bangku panjang, sementara para makmum
berada di bawahnya, lalu Hudzaifah maju dan menarik tangan ‘Ammar dan
‘Ammar pun mengikutinya hingga dia diturunkan ditempat yang sejajar oleh
Hudzaifah. Setelah ‘Ammar selesai shalat, Hudzaifah berkata kepadanya;
Apakah kamu belum pernah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Apabila
seseorang mengimami suatu kaum, maka janganlah dia berdiri di tempat
yang lebih tinggi dari tempat mereka”, atau semisal ucapan tersebut.
Ammar berkata; “Maka dari itu saya mengikutimu tatkala kamu menarik
tanganku”. (H.R. Abu Daud Jilid 1 Hal. 163 No. 506)
Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini hasan
Juga hadits berikut ini :
Dari Abu Mas’ud Al-Anshari ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melarang imam untuk berdiri di atas sesuatu sementara orang di belakangnya lebih rendah darinya” (H.R. Daruqutni) Hadits ini dianyatakan hasan oleh Nashirudin Al-Albani dalam Tamamul Minnah No. 281)
Jika kita melihat dua hadits di atas maka sepintas dapat disimpulkan
bahwa Imam berada lebih tinggi dari makmum adalah dilarang, jika tidak
haram maka hukumnya adalah makruh. Namun dalam hadits lain diceritakan
bahwa Rasulullah s.a.w. pernah shalat di atas mimbar sementara makmum mengikuti di bawahnya :
Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin ‘Abdullah berkata, telah
menceritakan kepada kami Sufyan berkata, telah menceritakan kepada kami
Abu Hazim berkata : “Orang-orang bertanya kepada Sahal bin Sa’d
tentang terbuat dari apa mimbar Rasulullah? Maka dia berkata, “Tidak ada
seorangpun yang masih hidup dari para sahabat yang lebih mengetahui
masalah ini selain aku. Mimbar itu terbuat dari batang pohon hutan yang
tak berduri, mimbar itu dibuat oleh seorang budak wanita untuk
Rasulullah s.a.w. Ketika selesai dibuat dan diletakkan, Rasulullah
s.a.w. berdiri pada mimbar tersebut menghadap kiblat. Beliau bertakbir
dan orang-orang pun ikut shalat dibelakangnya, beliau lalu membaca surat
lalu rukuk, dan orang-orang pun ikut rukuk di belakangnya. Kemudian
beliau mengangkat kepalanya, lalu mundur ke belakang turun dan sujud di
atas tanah. Kemudian beliau kembali ke atas mimbar dan rukuk, kemudian
mengangkat kepalnya lalu turun kembali ke tanah pada posisi sebelumnya
dan sujud di tanah. Itulah keberadaan mimbar.” (H.R. Bukhari No. 364)
Maka Imam Syafi’i (Madzhab Syafi’i) berpendapat “Boleh kalau imam
bermaksud mengajari orang shalat (yakni dengan berdiri di tempat yang
tinggi) satu kali, (setelah itu) saya lebih menyukai Imam shalat sejajar
dengan makmum. Hal ini karena tidak pernah diriwayatkan dari Nabi
s.a.w. bahwa beliau shalat di atas mimbar, kecuali hanya satu kali saja
(yaitu hadits dari Sahl bin Sa’d)”(Al Umm Hal. 310)
Senada dengan Syafi’i Ibnu Hibban berkata, “Jika seseorang
menjadi imam lalu dia shalat sebagai imam orang-orang yang baru masuk
Islam sehingga ia berdiri di tempat yang lebih tinggi dari makmum untuk
mengajari mereka hukum-hukum shalat yang langsung dilihat mata, hal itu
diperbolehkan sesuai dengan hadits sahabat Sahl bin Sa’d Tetapi, kalau
alasan ini tidak ada, janganlah ia shalat di tempat yang lebih tinggi
dari tempat makmum, sesuai dengan hadits dari sahabat Abu Mas’ud. Dengan
demikian, kedua hadits (yang melarang dan membolehkan) itu tidak saling
membantah. (Shahih Ibnu Hibban)
Sementara pendapat lain membolehkan secara mutlak dalam semua kondisi
(tidak hanya ketika mengajari shalat) Imam boleh sendirian di tempat
lebih tinggi (termasuk lantai atas) sementara makmum ada di bawah nya
Ini adalah salah satu pendapat dari Ashab Imam Ahmad bin Hambal (Madzhab
Hambali), Ibnu Hazm (Mazhab Zhahiri), dan Ad-Darimi.
Hal ini didukung oleh riwayat yang menceritakan bahwa posisi kamar
Rasulullah s.a.w. itu agak ke atas dari lantai masjid sebagaimana hadits
berikut :
Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Mu’adz Al Ambari telah
menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami Syu’bah
dari Furat Al Qazzaz dari Abu Ath Thufail dari Abu Sarihah Hudzaifah bin
Usaid berkata: “Nabi s.a.w. berada di kamar sementara kami berada
dibawah, beliau melihat kami dari atas lalu bertanya: “Apa yang kalian
bicarakan?” (H.R. Muslim No. 5163)
Sedangkan para sahabat pernah bermakmum pada Nabi s.a.w. yang shalat
ada di kamarnya (yang posisinya lebih tinggi dari lantai masjid)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salam berkata, telah
mengabarkan kepada kami ‘Abdah dari Yahya bin Sa’id Al Anshari dari
‘Amrah dari ‘Aisyah berkata, “Pada suatu malam Rasulullah
s.a.w.pernah shalat di kamarnya, saat itu dinding kamar beliau tidak
terlalu tinggi (pendek) hingga orang-orang pun melihat Nabi s.a.w.
berdiri shalat sendirian (munfarid). Lalu orang-orang itu pun berdiri
dan shalat di belakang beliau (bermakmum pada Beliau), hingga pada pagi
harinya orang-orang saling memperbincangkan kejadian tersebut. ” (H.R. Bukhari No. 687)
Dalam hadits lainnya diceritakan :
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb telah menceritakan
kepada kami Husyaim telah mengabarkan kepadaku Yahya bin Sa’id dari
‘Amrah dari Aisyah r.ah. dia berkata; Rasulullah s.a.w. mengerjakan shalat di kamarnya, ternyata orang-orang mengikuti beliau dari belakang kamarnya.” (H.R. Abu Daud No. 951) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih.
Ada juga atsar dai Anas bin Malik :
Dari Anas bin Malik beliau melakukan shalat Jum’at di rumah Abu Nafi’
di sebelah kanan masjid, di sebuah ruangan setinggi tubuh manusia.
Ruangan yang pintunya mengarah ke masjid, di kota Bashrah. Anas
mengikuti shalat Jum’at di tempat tersebut dan menjadi makmum. (Atsar R
Sa’id bin Manshur sebagaimana dalam kitab Al-Muntaqa)
Abu ‘Abdullah berkata, ‘Ali Al Madini berkata, Ahmad bin Hambal
bertanya kepadaku (ali Madini) tentang hadits di atas. Ia katakan, “Yang
aku maksudkan bahwa Nabi s.a.w. posisinya lebih tinggi daripada
orang-orang. Maka tidak mengapa seorang imam posisinya lebih tinggi
daripada makmum berdasarkan hadits ini.” Sahl bin Sa’d berkata, “Aku
katakan, “Sesungguhnya Sufyan bin ‘Uyainah sering ditanya tentang
masalah ini, ‘Apakah Anda tidak pernah mendengarnya? ‘ Ahmad bin Hambal
menjawab, “tidak.”
Ibnu Rajab juga mengisahkan sebuah percakapan dengan Imam Ahmad yaitu
ketika Beliau ditanya, “Bolehkah seseorang shalat di atas loteng
bermakmum dengan imam (di bawahnya)?” Beliau (Imam Ahmad) menjawab,
“Boleh, namun jika antara dia dengan imamnya ada jalan atau sungai,
tidak boleh.” Beliau ditanya lagi, “Ada riwayat Anas (bin Malik) shalat
Jum’at di loteng (rumah Abu Nafi’).” Beliau menjawab, “Pada hari Jum’at
tidak ada jalan orang-orang.” Ibnu Rajab menjelaskan bahwa yang dimaksud
Imam Ahmad adalah bahwa pada hari Jumat jalan-jalan penuh dengan
orang-orang sehingga dapat dianggap shaf-shaf bersambung. (Fathul Bari
oleh Ibnu Rajab)
Ibnu Rajab Al-Hambali berkata, “Shalat pada tempat yang dibangun
di atas tanah semacam sebuah ruangan di masjid atau di atas loteng
masjid, semuanya boleh dan tidak ada kemakruhan dalam hal ini tanpa ada
perbedaan” (Fathul Bari oleh Ibnu Rajab)
Namun sebagian Ulama kontemporer seperti Nashiruddin Al-Albani
membantahnya. Ia mengatakan bahwa penggunaan dalil dengan hadits Sahl
bin Sa’d tentang shalat Nabi di atas mimbar “Hal ini adalah pendalilan
yang aneh dari para imam tersebut. Keherananku hampir-hampir tidak
habis. Bagaimana bisa mereka berdalil untuk membolehkan hal itu secara
mutlak, padahal perbuatan beliau itu (jelas-jelas) terkait dengan
pengajaran, sebagaimana ucapan Nabi s.a.w. sendiri.” (Ats-Tsamarul
Mustathab)
B. Imam Dan Sebagian Barisan Makmum Ada Di Lantai Atas dan Sebagian Barisan Makmum Berada Di Lantai Bawah
Jika imam ada di lantai atas dan beberapa barisan shof ada satu
lantai di belakangnya, maka barisan shof yang lain yang ada di lantai
bawah dibolehkan walaupun terpisah dinding. Pada dasarnya barisan makmum
dan imam sejajar satu lantai sehingga tidak perlu dipersoalkan. Adapun
barisan makmum lainnya yang ada di lantai bawah adalah dihukumi sama
dengan kasus shof yang terhalang dinding namun masih termasuk satu
bangunan dengan masjid, maka tidak ada perselisihan hukumnya adalah
boleh.
C. Imam Berada di Lantai Bawah Sendirian Dan Makmum Berada di Lantai Atas
Madzhab Syafi’i berkata bahwa atap masjid dan balkon masjid asalkan
masih merupakan bagian dari bangunan masjid maka itu dianggap termasuk
masjid, sehingga tidak mengapa makmum berada di atap masjid bermakmum
pada imam di bawahnya.
Madzhab Hambali mengatakan dibolehkan orang berada di atap masjid
bermakmum pada imam yang ada di bawahnya . Hal ini berdasarkan riwayat
Abu Hurairah bahwa ia (Abu Hurairah) pernah bersolat di bahagian atas masjid mengikuti imam (yang berada di bawa) (Atsar R. Ibnu Abi Syaibah)
Ibnu Hajar Asqolani mengatakan bahawa atsar ini diriwayatkan oleh
Ibnu Abi syaibah dari riwayat Sholeh maula Tauamah. Sholeh berkata : “aku pernah bersolat bersama Abu Hurairah di bagian atas masjid dengan mengikuti imam (di bawahnya)“.
Sholeh ini adalah lemah tetapi Sa’id Ibnu Mansur telah meriwayatkan
dari jalan yang lain dari Abu Hurairah maka ia menguatkan riwayat Sholeh
ini. Sa’id bin Mansur juga meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari
Hasan Al Basri tentang seorang lelaki yang shalat di tingkat atas
bangunan mengikut imam. Hasan Al Basri berkata: “tidak mengapa dengan
keadaan ini”.
Dari Sa’di bin Salim telah berkata: “Aku melihat Salim bin Abdullah shlat maghrib di bagian atas masjid dan ada lelaki lain bersamanya mengikuti imam ( di bawahnya)“. (Atsar R. Ibnu Abi Syaibah)
Imam Syaukani berkata :”Apabila lokasi makmum terlalu tinggi dari
imam misalkan 300 kaki dan makmum tidak dapat mengetahui gerakan imam,
maka hal ini terlarang berdasarkan ijma ulama, tanpa membedakan apakah
shalat berjamaah tersebut dilaksanakan di masjid atau bukan masjid
(lapangan yaitu misal makmum di atas tebing). Namun apabila jaraknya
kurang dari 300 kaki, maka hukum asalnya adalah boleh sehinggalah datang
dalil yang melarang di mana keharusan ini didukung oleh riwayat dari
Abu Hurairah yang telah disebutkan di atas dan perbuatan beliau itu
tidak diingkari
D. Imam Dan SebagianBarisan Makmum Ada Di Lantai Bawah dan Sebagian Barisan Makmum Berada Di Lantai Atas
Jika imam ada di lantai bawah dan beberapa barisan shof berada satu
lantai di belakangnya, maka tidak ada yang peru dipersoalkan. Adapun
barisan shof yang lain yang ada di lantai atas jika terpisah dinding
maka dihukumi menurut pembahasan shalat terpisah dinding yaitu boleh
karena masih satu bangunan dengan masjid dan tidak mengapa jika
terhalang dinding, pagar dll asalkan masih dapat mengetahui gerakan imam
dan mendengar aba-aba takbir imam. Apalagi jika tidak terpisah dinding
(seperti balkon) dimana makmum masih dapat melihat sebagian imam dan
mendengar suara imam, maka sholat makmum yang di atas itu sah dan
dibolehkan.
Imam Dan Makmum Berbeda Bangunan
Menurut Madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali tidak sah makmum yang
berbeda tempat dengan imam. Jika berbeda tempat dengan imam maka
batal-lah keikutsertaan dalam jamaah tersebut. Definisi berbeda nya
tempat itu berbeda beda lagi pendapat. Sebagain berpendapat terpisah
nya barisan makmum dengan imam, itu jika dipisahkan oleh shof wanita,
tembok, jalanan, dan sungai. Hal ini berdasarkan atsar (perkataan)
sahabat Umar bin Khattab r.a. : “Seorang makmum yang terpisah tempatnya dengan imam karena adanya sungai, jalan atau shof wanita, maka sholatnya tidak sah”
Menurut Madzhab Syafi’i jika imam dan makmum berada di dua bangunan
yang terpisah maka tergantung dari posisi bangunan makmum. Jika
bangunanmakmum di belakang bangunan imam maka sah jamaahnya jika
jaraknya tidak melebihi 300 depa terhitung dari akhir bangunan tempat
imam dan makmum bisa mengetahui gerakan dan aba-aba imam. Tidak mengapa
jika diselingi jalan atau sungai antara satu bangunan dengan bangunan
lainnya.
Jika bangunan itu di sebelah kanan atau kiri bangunan imam, maka
disyartkan barisan shalat bersambung dari satu bangunan ke bangunan
lainnya dan tidak mengapa jika ada satu sela kecil yang tidak
memungkinkan orang shalat di dalamnya.
Sedangkan untuk perahu yang terpisah maka Imam Syafi’i berpendapat :
Tidak mengapa jika imam berada di satu perahu dan makmum berada di
perahu lain sepanjang jaraknya tidak lebih dari 300 depa dan makmum bisa
mengetahui gerakan dan aba-aba imam. (Al Mughni Al Muhtaaj Jilid 1 Hal
248-251)
Madzhab Hambali mengatakan tidak sah jika seseorang
makmum berbeda gedung dengan imam hal ini berdasarkan riwayat Anas bin
Malik : Demikian pula tidak boleh seorang makmum berada di suatu unta
dan imam ada di unta yang lain atau makmum berada di satu kapal dan imam
berada di kapal yang lain. Namun Imam Ahmad bin Hambal membolehkan hal
ini jika situasinya dalam keadaan perang atau alasan lain yang tidak
bisa dihindari. Hal ini sebagaimana hadits bahwa Rasulullah s.a.w.
pernah juga shalat berjamaah dalam keadaan berada di unta masing-masing.
(Kasysyaf Al Qinaa ‘ Jilid 1 Hal 579-580)
Telah menceritakan kepada kami Suraij bin Nu’man Telah menceritakan
kepada kami Umar bin Maimun bin Rammah dari Abu Sahl Katsir bin Ziyad Al
Bashri dari Amru bin Utsman bin Ya’la bin Murrah dari Bapaknya dari
Kakeknya, bahwa Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya sampai pada
daerah yang agak sempit sedangkan beliau masih berada di atas
kendaraannya, sementar langit menurunkan hujan dan tanah yang ada di
bawah mereka basah (berlumpur). Lalu datanglah waktu shalat, beliau
kemudian memerintahkan seorang muadzdzin untuk mengumandang adzan, lalu
muadzdzin tersebut adzan dan iqamah. Rasulullah s.a.w. kemudian maju ke
depan dengan tetap berada di atas kendaraannya, lalu beliau shalat
bersama mereka. Beliau shalat dengan berisyarat, menjadikan sujud lebih
rendah daripada rukuk. Atau beliau menjadikan sujudnya lebih rendah
daripada ruku’nya.” (H.R. Ahmad No.16915) Salah seorang perawi
hadits ini yaitu Utsman bin Ya’la bin Murrah dikatakan Ibnu Hajar
Asqolani dan Ibnu Qathan sebagai perawi majhul (tidak dikenal) dan
Adz-Dzahabi tidak menyebutkan biografinya dalam Ats-Tsiqaat.
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Musa berkata; telah
menceritakan kepada kami Syababah bin Sawwar berkata; telah menceritakan
kepada kami Umar bin Ar Rammah Al bakhil dari Katsir bin Ziyad dari
Amru bin Utsman bin Ya’la bin Murrah dari Ayahnya dari Kakeknya
bahwasanya mereka bersama Nabi s.a.w. dalam sebuah perjalanan,
hingga sampailah mereka pada jalan sempit, lalu waktu shalat tiba
sedangkan langit dalam keadaan hujan dan kondisi tanah tergenang air.
Rasulullah s.a.w. kemudian adzan di atas kendaraannya, lalu beliau
iqamah dan maju ke depan. Setelah itu beliau shalat bersama para sahabat
dengan merunduk, beliau menjadikan sujud lebih rendah dari rukuk.”
(H.R. Tirmidzi No. 376) Nshiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini
dla’if dalam Kitab Dla’if Sunan Tirmidzi No. 65 karena Utsman bin Ya’la
bin Murrah adalah majhul (tidak dikenal)
Namun Abu Isa (Tirmdizi) berkata; “Hadits ini derajatnya hasan dan
gharib. Umar bin Ar Ramman Al Bakhil meriwayatkan hadits ini secara
gharib (asing), tidak diketahui ada hadits lain kecuali dari haditsnya,
dan tidak hanya satu orang ulama yang meriwayatkan darinya. Maka
Tirmidzi menaikkan derajat hadits ini yang semula dla’if karena
terdapat riwayatkan oleh ulama lain dari berbagai jalur maka yang dla’if
tadi bisa dinaikkan menjadi hasan.
Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari Hisyam bin Urwah bahwa Bapaknya berkata kepadanya, “Jika
kamu dalam sebuah perjalanan, sementara kamu ingin adzan dan iqamat,
maka lakukanlah. Dan jika mau, kamu boleh iqamat saja tanpa adzan.”
Yahya berkata, “Saya mendengar Malik berkata, “Tidak mengapa seorang
laki-laki mengumandkan adzan, meskipun ia di atas kendaraannya.” (Atsar.R. Imam Malik dalam Al-Muwatha’ No. 145)
Shalat yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. di atas kendaraan (Yang
dikisahkan pada hadits di atas) bersama-sama dengan para sahabat
(berjamaah) dengan didahului oleh adzan dan iqomah jelas adalah shalat
fardhu, karena tidak pernah shalat sunnah didahului adzan dan iqomah.
Hal ini merupakan dalil bahwa dalam situasi memang tidak memungkinkan
untuk turun dari kendaraan (yaitu karena hujan dan becek) maka shalat
wajib di atas kendaraan adalah dibolehkan.
Sedangkan menurut Imam Malik (Madzhab Maliki) jika
imam berada di satu bangunan dan makmum berada di bangunan lain maka hal
ini dibolehkan dan sah shalat jamaahnya sepanjang makmum bisa
mengetahui gerakan imam dan dapat mendengar takbir imam. Adapun
ketersambungan barisan shof hanya disyaratkan pada shalat jum’at dan
tidak disyaratkan pada shalat lainnya termasuk shalat fardhu.
Sementaa sebagian ulama lain membolehkan Imam dan Makmum terpisah
bangunan jika ada alasannya seperti masjid telah penuh. Hal ini
berdasarkan Atsar dari Hisyam bin Urwah, “Suatu saat aku bersama
ayahku datang (ke masjid). Ternyata kami dapati masjid telah penuh. Kami
pun tetap shalat bersama imam di sebuah rumah di sisi masjid, dan
antara keduanya ada jalan” (Atsar R. Abdurrazzaq, Jilid 3 Hal 82)
Dan Juga berdasarkan riwayat dari Anas bin Malik :
Dari Anas bin Malik beliau melakukan shalat Jum’at di rumah Abu Nafi’
di sebelah kanan masjid, di sebuah ruangan setinggi tubuh manusia.
Ruangan yang pintunya mengarah ke masjid, di kota Bashrah. Anas
mengikuti shalat Jum’at di tempat tersebut dan menjadi makmum. (Atsar R
Sa’id bin Manshur sebagaimana dalam kitab Al-Muntaqa)
Atsar dari Anas bin Malik di atas menjelaskan bahwa ia shalat jum’at
pada bangunan yang terpisah dari bangunan tempat imam berada, yaitu di
sebuah rumah yang terletak di sebelah kanan masjid di kota Basrah dan
letaknya pun lebih tinggi dari masjid.
Wallahua’lam
Post a Comment for "Shalat dengan Shaf Tidak lurus Karena Diselingi Jalan, lantai Atas dan Sungai "
Post a Comment
PERHATIAN :
Balasan dari komentar anonim/ unknown akan dihapus setelah 24 jam.
Menyisipkan Link hidup akan langsung DIHAPUS
Terimakasih sudah berkenan untuk berkunjung.
Simak juga komentar yang ada karena bisa jadi akan lebih menjawab pertanyaan yg akan diajukan.