Perjanjian Hudaibiyah: Keteguhan Nabi, Kekecewaan Sahabat, dan Tauladan dalam Aksi Pembangkangan
Matahari sudah beranjak terbenam di gurun yang luas ketika rombongan kaum Muslimin bergerak menuju Makkah. Mereka tidak membawa senjata untuk berperang. Niat mereka jelas, hanya untuk melaksanakan ibadah umrah. Di bawah pimpinan Rasulullah SAW, sekitar 1.400 sahabat mengenakan pakaian ihram, simbol niat suci mereka untuk menunaikan ibadah. Namun, suasana hati penuh ketegangan, karena ancaman dari kaum Quraisy terus membayangi langkah mereka.
Setelah melewati perjalanan panjang, kaum Muslimin tiba di suatu tempat yang dikenal sebagai Hudaibiyah, sebuah wilayah di luar Makkah. Di sinilah mereka berhenti. Makkah tampaknya begitu dekat, namun jarak itu tampak semakin jauh karena kabar buruk datang: kaum Quraisy menolak untuk membiarkan mereka masuk. Mereka bersiap menghadapi konflik, namun Nabi SAW, dengan kebijaksanaannya, memilih jalur diplomasi daripada konfrontasi.
Momen Perjanjian: Keputusan yang Mengejutkan
Perjanjian Hudaibiyah terjadi pada tahun 6 Hijriah atau sekitar Maret 628 Masehi. Perjanjian ini ditandatangani antara kaum Muslimin yang dipimpin oleh Rasulullah SAW dan kaum Quraisy di dekat kota Makkah, di tempat yang disebut Hudaibiyah.
Perundingan berlangsung sengit antara utusan kaum Muslimin dan Quraisy. Kaum Quraisy yang dipimpin oleh Suhail bin Amr tampak sangat keras dan enggan memberi kaum Muslimin jalan. Setelah diskusi panjang, Rasulullah SAW menerima untuk menandatangani Perjanjian Hudaibiyah, sebuah perjanjian yang, di mata banyak sahabat, tampak sebagai kekalahan. Perjanjian ini menyatakan bahwa kaum Muslimin tidak diperbolehkan melakukan umrah pada tahun itu, meskipun mereka sudah tiba begitu dekat dengan Makkah. Sebaliknya, mereka hanya diperbolehkan kembali ke Makkah untuk umrah pada tahun berikutnya, dengan syarat tidak membawa senjata kecuali pedang di sarungnya.
Keputusan ini membuat para sahabat kecewa, bahkan marah. Mereka merasa bahwa mereka sudah diperlakukan tidak adil. Umar bin Khattab yang dikenal dengan keberaniannya tidak bisa menahan dirinya. Dengan perasaan yang berkecamuk, ia mendekati Rasulullah SAW dan berkata dengan suara yang bergetar, “Bukankah engkau Nabi Allah? Bukankah kita berada di jalan yang benar, sedangkan mereka di jalan yang salah?”
Rasulullah SAW, dengan ketenangannya, menjawab, “Aku adalah utusan Allah, dan aku tidak akan menyelisihi-Nya. Dialah pelindungku.” Umar tetap merasa gusar, meskipun ia menahan diri untuk tidak melanjutkan protesnya.
Perjanjian itu akhirnya ditandatangani, dan kaum Muslimin diperintahkan untuk kembali ke Madinah tanpa menunaikan umrah. Ini adalah perintah yang sangat berat diterima oleh para sahabat yang sudah begitu bersemangat untuk beribadah di tanah suci.
Kekecewaan Sahabat: Penolakan untuk Mematuhi Perintah
Rasulullah SAW, dalam upaya untuk mengakhiri perjalanan ini dengan sikap yang tenang dan penuh ketundukan kepada Allah, memerintahkan para sahabat untuk menyembelih hewan kurban yang telah mereka bawa dan melepas ihram. Ini adalah perintah yang jelas, namun sesuatu yang sangat jarang terjadi kemudian tampak di wajah para sahabat: mereka tidak bergerak. Tidak ada yang segera mengikuti perintah Rasulullah SAW.
Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, bahkan Abu Bakar Ash-Shiddiq tampak terdiam, seolah tidak percaya dengan apa yang mereka alami. Umar, yang dikenal karena selalu patuh pada Rasulullah SAW, kali ini juga tampak tak kuasa mengikuti perintah. Mereka sudah siap untuk beribadah, siap untuk mendekatkan diri kepada Allah di tanah suci, tetapi kini mereka diminta untuk kembali tanpa mencapai tujuan mereka. Hati mereka terselimuti kekecewaan mendalam.
Suasana di sekitar Nabi SAW semakin sunyi. Para sahabat, yang biasanya begitu cepat dalam mengikuti perintah Rasulullah, kali ini hanya berdiri dalam kebisuan. Tak ada yang menggerakkan tangan untuk memulai menyembelih hewan atau melepas ihram.
Rasulullah dan Saran dari Istri Tercinta
Melihat situasi ini, Rasulullah SAW masuk ke dalam tendanya. Perasaan berat menyelimuti hatinya. Nabi yang selama ini menjadi teladan bagi para sahabatnya, kini melihat mereka berdiam dalam kekecewaan. Dalam kesunyian tenda, Rasulullah SAW mendapati Ummu Salamah, istrinya yang setia. Ia tahu bahwa hati Rasulullah sedang galau. Dengan lembut, ia bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu bersedih?”
Rasulullah SAW menceritakan kepada Ummu Salamah tentang para sahabat yang tampak enggan untuk melaksanakan perintahnya. Mereka tak mengindahkan perintah untuk menyembelih hewan kurban dan tahalul. Ummu Salamah mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu dengan bijaksana ia memberikan nasihat yang penuh ketulusan.
“Wahai Rasulullah,” kata Ummu Salamah, “Pergilah, jangan katakan apapun kepada mereka. Engkau saja yang melaksanakan apa yang engkau perintahkan. Sembelihlah hewanmu, dan cukurlah rambutmu.”
Nabi SAW mendengarkan saran dari istri tercintanya itu. Ia tahu, ini bukanlah waktu untuk beradu kata atau menegur para sahabatnya. Dengan penuh keteguhan hati, ia keluar dari tendanya. Di hadapan para sahabat yang masih terpaku dalam kekecewaan, Rasulullah SAW mengambil pisau dan mulai menyembelih hewan kurbannya sendiri. Kemudian, ia pun melepas ihram dan mencukur rambutnya.
Sebuah Kepatuhan yang Tertunda
Pemandangan itu mengguncang hati para sahabat. Mereka yang sebelumnya terdiam, kini melihat Rasulullah SAW melaksanakan sendiri apa yang ia perintahkan kepada mereka. Seolah kesadaran tiba-tiba membanjiri hati mereka, satu per satu sahabat mulai bergerak. Mereka mengikuti apa yang Rasulullah SAW lakukan. Suara tangis mulai terdengar di antara mereka, bukan karena rasa marah atau kecewa, tetapi karena rasa malu yang mendalam. Mereka menangis menyadari bahwa dalam kekecewaan mereka, mereka hampir saja mengabaikan perintah Nabi SAW.
Umar bin Khattab, yang sebelumnya merasa gusar, kini menundukkan kepalanya. Para sahabat lainnya juga merasakan hal yang sama. Dengan berat hati, mereka mulai menyembelih hewan kurban dan melepas ihram, mengikuti teladan Rasulullah SAW. Tak satu pun dari mereka yang bisa menahan air mata, menyadari betapa mereka hampir tersesat oleh kekecewaan mereka sendiri.
Pelajaran dari Hudaibiyah
Peristiwa Hudaibiyah bukan sekadar sebuah perjanjian antara kaum Muslimin dan Quraisy. Itu adalah ujian bagi kaum Muslimin, sebuah pelajaran tentang ketundukan dan kepercayaan kepada pemimpin mereka yang paling bijaksana, Rasulullah SAW. Meskipun pada awalnya para sahabat merasa kecewa, mereka akhirnya menyadari bahwa setiap keputusan Nabi SAW selalu mengandung hikmah yang mendalam.
Perjanjian Hudaibiyah, yang pada awalnya dianggap sebagai kekalahan, pada akhirnya membawa kemenangan yang besar bagi Islam. Tidak lama setelah itu, kaum Muslimin diberikan kesempatan untuk menunaikan umrah, dan perjanjian ini membuka jalan bagi penyebaran Islam yang lebih luas di seluruh Jazirah Arab.
Pada hari itu, di Hudaibiyah, kaum Muslimin belajar sebuah pelajaran yang tak ternilai: bahwa ketaatan kepada Rasulullah SAW, meskipun terasa berat, pada akhirnya akan membawa keberkahan yang besar.
Post a Comment for "Perjanjian Hudaibiyah: Keteguhan Nabi, Kekecewaan Sahabat, dan Tauladan dalam Aksi Pembangkangan"
Post a Comment
PERHATIAN :
Balasan dari komentar anonim/ unknown akan dihapus setelah 24 jam.
Menyisipkan Link hidup akan langsung DIHAPUS
Terimakasih sudah berkenan untuk berkunjung.
Simak juga komentar yang ada karena bisa jadi akan lebih menjawab pertanyaan yg akan diajukan.