Ikhtiar Menyambut Buah Hati 11 -Memberi Adzan dan Iqomat Pada Bayi, Aku sih YES!!
Amalan meng-Adzan-i bayi baru lahir pernah disorot oleh media dan sempat viral di media sosial saat kelahiran putra pertama presenter berita islam masa kini Akhuna Teuku Wisnu.
Dari beberapa literatur, adzan di telinga bayi ini adalah masalah khilafiyah, dimana beberapa ulama masih berbeda pendapat terkait hukum dan derajat hadistnya. Ada yang mengatakan dalil hadistnya lemah bahkan palsu, sehingga tidak bisa digunakan sebagai pedoman amal. Jika melakukan amalan dari hadist lemah atau palsu maka dianggap melakukan sesuatu amalan baru dalam agama (bid'ah). Tapi tak sedikit juga yang mengatakan derajat dalilnya adalah hasan sehingga bisa digunakan sebagai landasan amal.
Ulama dalam mazhab Asy-Syafi’iyah memandang bahwa selain berfungsi untuk memanggil orang-orang untuk shalat berjamaah, adzan juga boleh dikumandangkan dalam konteks di luar shalat. Dr. Wahbah Az-Zuhaily, ulama ahli fiqih kontemporer abad 20 menuliskan dalam kitabnya Al-Fiqhul Islami Wa Adillathu bahwa selain digunakan untuk shalat, adzan juga dikumandangkan pada beberapa even kejadian lainnya, salah satunya adalah untuk mengadzankan bayi yang baru lahir. [1]
Terkadang, untuk menentukan hadist ini bisa dipakai atau tidak, kita tak mesti harus merujuk pada derajat suatu hadist. Cukup menggunakan pendapat salah satu imam 4 mazhab saja insya Allah kita sudah dibolehkan mengambil suatu keputusan.
Secara sejarahpun generasi imam 4 mazhab lebih dekat dengan nabi dari pada generasi imam perawi hadist. Sehingga keterputusan informasi (jika ada) tidak sebesar saat zaman era perawi hadist. Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa era Imam 4 mazhab lebih dulu hadir dari pada era Imam Perawi Hadist.
Imam Hanafi lahir tahun 80 H / 699 M. Imam Malik lahir 93 H / 714 M. Imam Syafi'i lahir 150 H / 767 M. Imam Hambali lahir 164 H/ 782 M. Sedangkan Imam Bukhari lahir 196 Hijriyah dan Imam Muslim lahir 204 Hijriyah. Karena imam 4 Mazhab lebih dulu ada sebelum imam perawi hadist, maka dalam berijtihad (menetapkan hukum/ mengambil keputusan), imam empat mazhab tidak pernah mengunakan derajat hadist, yang ia gunakan adalah kedalaman ilmu yang dimilikinya.
Jika demikian ketika kita mengikuti ulama yang dalam menetapkan pendapatnya ia menggunakan dasar dari salah satu imam 4 mazhab, maka sebagai orang yang kapasitasnya jauh dibawah mereka kita diperbolehkan untuk mengikuti pendapat ulama tersebut. Sebut saja Imam Nawawi dan Ibnul Qoyim Aljauzi.
Hadits-hadits Tentang Adzan di Telinga Bayi
Dari beberapa literatur, adzan di telinga bayi ini adalah masalah khilafiyah, dimana beberapa ulama masih berbeda pendapat terkait hukum dan derajat hadistnya. Ada yang mengatakan dalil hadistnya lemah bahkan palsu, sehingga tidak bisa digunakan sebagai pedoman amal. Jika melakukan amalan dari hadist lemah atau palsu maka dianggap melakukan sesuatu amalan baru dalam agama (bid'ah). Tapi tak sedikit juga yang mengatakan derajat dalilnya adalah hasan sehingga bisa digunakan sebagai landasan amal.
Ulama dalam mazhab Asy-Syafi’iyah memandang bahwa selain berfungsi untuk memanggil orang-orang untuk shalat berjamaah, adzan juga boleh dikumandangkan dalam konteks di luar shalat. Dr. Wahbah Az-Zuhaily, ulama ahli fiqih kontemporer abad 20 menuliskan dalam kitabnya Al-Fiqhul Islami Wa Adillathu bahwa selain digunakan untuk shalat, adzan juga dikumandangkan pada beberapa even kejadian lainnya, salah satunya adalah untuk mengadzankan bayi yang baru lahir. [1]
Terkadang, untuk menentukan hadist ini bisa dipakai atau tidak, kita tak mesti harus merujuk pada derajat suatu hadist. Cukup menggunakan pendapat salah satu imam 4 mazhab saja insya Allah kita sudah dibolehkan mengambil suatu keputusan.
Secara sejarahpun generasi imam 4 mazhab lebih dekat dengan nabi dari pada generasi imam perawi hadist. Sehingga keterputusan informasi (jika ada) tidak sebesar saat zaman era perawi hadist. Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa era Imam 4 mazhab lebih dulu hadir dari pada era Imam Perawi Hadist.
Imam Hanafi lahir tahun 80 H / 699 M. Imam Malik lahir 93 H / 714 M. Imam Syafi'i lahir 150 H / 767 M. Imam Hambali lahir 164 H/ 782 M. Sedangkan Imam Bukhari lahir 196 Hijriyah dan Imam Muslim lahir 204 Hijriyah. Karena imam 4 Mazhab lebih dulu ada sebelum imam perawi hadist, maka dalam berijtihad (menetapkan hukum/ mengambil keputusan), imam empat mazhab tidak pernah mengunakan derajat hadist, yang ia gunakan adalah kedalaman ilmu yang dimilikinya.
Jika demikian ketika kita mengikuti ulama yang dalam menetapkan pendapatnya ia menggunakan dasar dari salah satu imam 4 mazhab, maka sebagai orang yang kapasitasnya jauh dibawah mereka kita diperbolehkan untuk mengikuti pendapat ulama tersebut. Sebut saja Imam Nawawi dan Ibnul Qoyim Aljauzi.
Hadits-hadits Tentang Adzan di Telinga Bayi
Setidaknya ada tiga hadits yang menjadi dasar dalam melantunkan adzan untuk bayi yang baru lahir.
1. Hadits Pertama
1. Hadits Pertama
رَوَى أَبُو رَافِعٍ : رَأَيْتُ النَّبِيَّ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ
Abu Rafi meriwayatkan : Aku melihat Rasulullah SAW mengadzani telinga Al-Hasan ketika dilahirkan oleh Fatimah. (HR. Abu Daud, At-Tirmizy dan Al-Hakim)
Secara status hadits, Al-Imam At-Tirmizy menegaskan bahwa yang beliau riwayatkan itu adalah hadits hasan shahih. Demikian juga Al-Imam Al-Hakim menyebutkan keshahihan hadits ini juga. Al-Imam An-Nawawi juga termasuk menshahihkan hadits ini sebagaimana tertuang di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab[1].
Secara status hadits, Al-Imam At-Tirmizy menegaskan bahwa yang beliau riwayatkan itu adalah hadits hasan shahih. Demikian juga Al-Imam Al-Hakim menyebutkan keshahihan hadits ini juga. Al-Imam An-Nawawi juga termasuk menshahihkan hadits ini sebagaimana tertuang di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab[1].
2. Hadits Kedua
مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
Orang yang mendapatkan kelahiran
bayi, lalu dia mengadzankan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri,
tidak akan celaka oleh Ummu Shibyan. (HR. Abu Ya’la Al-Mushili)
Ummu shibyan adalah sebutan untuk sejenis jin yang mengganggu anak kecil. Hadits inilah yang dijadikan titik perbedaan pendapat. Sebagian ulama hadits menerima hadits ini meski ada kelemahan. Al-Imam Al-Baihaqi sendiri memang mengatakan bahwa dalam rangkaian perawinya ada kelemahan. Namun beliau justru menggunakan hadits yang ada kelemahan ini sebagai penguat atau syawahid dari hadits shahih lainnya.
Walhasil sebenarnya kalau pun hadits ini dianggap dhaif dan tidak bisa dijadikan dasar pengambilan hukum, tentu tidak mengapa. Sebab masih ada hadits lain yang shahih dan disepakati ulama dalam keshahihannya. Posisi hadits yang lemah ini sekedar menjadi syawahid saja. Maksud syawahid disini adalah ada hadits yang maknanya masih sejalan dengan hadits lain yang lebih kuat.
Sedangkan Al-Albani bukan hanya mendhaifkan tetapi malah bilang bahwa hadits ini palsu (maudhu'), di dalam kitab Silsilah Ahadits Adh-Dha'ifah[2] maupun dalam kitab Al-Irwa' Al-Ghalil. [3]. Sehingga para pengikut Al Bani, hanya berdasarkan kepalsuan hadits ini, hukum adzan di telinga bayi pun juga dianggap bid'ah dan terlarang.
Ummu shibyan adalah sebutan untuk sejenis jin yang mengganggu anak kecil. Hadits inilah yang dijadikan titik perbedaan pendapat. Sebagian ulama hadits menerima hadits ini meski ada kelemahan. Al-Imam Al-Baihaqi sendiri memang mengatakan bahwa dalam rangkaian perawinya ada kelemahan. Namun beliau justru menggunakan hadits yang ada kelemahan ini sebagai penguat atau syawahid dari hadits shahih lainnya.
Walhasil sebenarnya kalau pun hadits ini dianggap dhaif dan tidak bisa dijadikan dasar pengambilan hukum, tentu tidak mengapa. Sebab masih ada hadits lain yang shahih dan disepakati ulama dalam keshahihannya. Posisi hadits yang lemah ini sekedar menjadi syawahid saja. Maksud syawahid disini adalah ada hadits yang maknanya masih sejalan dengan hadits lain yang lebih kuat.
Sedangkan Al-Albani bukan hanya mendhaifkan tetapi malah bilang bahwa hadits ini palsu (maudhu'), di dalam kitab Silsilah Ahadits Adh-Dha'ifah[2] maupun dalam kitab Al-Irwa' Al-Ghalil. [3]. Sehingga para pengikut Al Bani, hanya berdasarkan kepalsuan hadits ini, hukum adzan di telinga bayi pun juga dianggap bid'ah dan terlarang.
3. Hadits Ketiga
عَنِ ابْنِ عَباَّسٍ أَنَّ النَّبِيَّ أَذَّنَ فيِ أُذُنِ الحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ يَوْمَ وُلِدَ وَأَقَامَ فيِ أُذُنِهِ اليُسْرَى
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu
bahwa Nabi SAW melantunkan adzan di telinga Al-Hasan bin Ali ketika
dilahirkan, dan melantunkan iqamah di telinga kirinya. (HR. Al-Baihaqi.
Inti dari masalah ini, ternyata para ulama ahli hadits sendiri berbeda pendapat tentang status keshahihan masing-masing hadits. Dan mereka juga berbeda pendapat tentang apakah bisa digunakan sebagai dasar hukum atau tidak.
Inti dari masalah ini, ternyata para ulama ahli hadits sendiri berbeda pendapat tentang status keshahihan masing-masing hadits. Dan mereka juga berbeda pendapat tentang apakah bisa digunakan sebagai dasar hukum atau tidak.
Pendapat Yang Mendukung Adzan di Telinga Bayi
1. Ulama Mazhab Empat
Umumnya
para ulama di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menyunnahkan
adzan untuk bayi yang baru lahir, yaitu pada telinga kanan dan iqamat
dikumandangkan pada telinga kirinya.
Selain mazhab Asy-Syafi’iyah, umumnya ulama tidak menyunnahkannya, meski mereka juga tidak mengatakannya sebagai bid’ah. Mazhab Al-Hanafiyah menuliskan masalah adzan kepada bayi ini dalam kitab-kitab fiqih mereka, tanpa menekankannya. Seperti iketahui bersama, kebanyakan orang Indonesia yang mengaku bermazhab Syafi'i, Sehingga tak jarang ia lebih memilih pedapat yang membolehkan dengan mengambil ijtihad Imam Syafi'i sebagai dalil dianjurkannya mengadzani bayi.
Selain mazhab Asy-Syafi’iyah, umumnya ulama tidak menyunnahkannya, meski mereka juga tidak mengatakannya sebagai bid’ah. Mazhab Al-Hanafiyah menuliskan masalah adzan kepada bayi ini dalam kitab-kitab fiqih mereka, tanpa menekankannya. Seperti iketahui bersama, kebanyakan orang Indonesia yang mengaku bermazhab Syafi'i, Sehingga tak jarang ia lebih memilih pedapat yang membolehkan dengan mengambil ijtihad Imam Syafi'i sebagai dalil dianjurkannya mengadzani bayi.
Namun mazhab Al-Malikiyah memakruhkan secara resmi dan mengatakan
bahwa adzan pada bayi ini hukumnya bid’ah. Walau pun ada sebagian ulama
dari kalangan Al-Malikiyah yang membolehkan juga.[7]
2. Pendapat Umar bin Abdul Aziz
2. Pendapat Umar bin Abdul Aziz
Diriwayatkan dalam kitab Mushannaf Abdurrazzaq bahwa Umar bin Abdul
Aziz apabila mendapatkan kelahiran anaknya, beliau mengadzaninya pada
telinga kanan dan mengiqamatinya pada telinga kiri.[4]
3. Pendapat Ibnu Qudamah
3. Pendapat Ibnu Qudamah
Ibnu Qudamah sebagai salah satu icon ulama mazhab Al-Hanabilah
menuliskan tentang masalah ini di dalam kitab fiqihnya yang fenomenal,
Al-Mughni.
قال بعض أهل العلم: يستحب للوالد أن يؤذن في أذن ابنه حين يولد
Sebagian ahli ilmu berpendapat
hukumnya mustahab (disukai) bagi seorang ayah untuk mengumandangkan
adzan di telinga anaknya ketika baru dilahirkan. [5]
4. Pendapat Ibnul Qayyim
4. Pendapat Ibnul Qayyim
Sepeti yang tertauang dalam buku (kitab) karya Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah Tuhfatul maudud bi ahkamil maulud,
yang didapat dari kado pernikahan. Dalam kitab tersebut menyebutkan adzan pada telinga bayi dilakukan dengan alasan agar kalimat yang
pertama kali didengar oleh seorang anak manusia adalah kalimat yang
membesarkan Allah SWT, juga tentang syahadatain, dimana ketika seseorang
masuk Islam atau meninggal dunia, juga ditalqinkan dengan dua kalimat
syahadat.[6]
5. Pendapat Syeikh Abdullah bin Baz
5. Pendapat Syeikh Abdullah bin Baz
Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ketika ditanya tentang
mengadzani bayi pada telinga kanan dan mengiqamati pada telinga kiri,
beliau menjawab sebagaimana tertuang dalam situsnya :
هذا مشروع عند جمع من أهل العلم وقد ورد فيه بعض الأحاديث وفي سندها مقال فإذا فعله المؤمن حسن لأنه من باب السنن ومن باب التطوعات
Ini perbuatan masyru'
(disyariatkan) menurut pendapat semua ahli ilmu dan memang ada dasar
haditsnya, meskipun dalam sanadnya ada perdebatan. Tetapi bila seorang
mukmin melakukannya maka hal itu baik, karena merupakan bagian dari
pintu sunnah dan pintu tathawwu'at. [8]
Pendapat Yang Tidak Membolehkan
Pendapat Yang Tidak Membolehkan
Umumnya
semua pendapat yang tidak membenarkan adzan di telinga bayi kalau kita
runut kembali kepada satu tokoh, yaitu Nashiruddin Al-Albani,
sebagaimana yang tertunang dalam kitab Silsilah dan Irwa' di atas.
Menurut Ust Sarwat LC, Sejatinya beliau bukan ulama syariah (fiqih) dan sebenarnya ilmu haditsnya agak sedikit diperdebatkan di kalangan guru besar hadits masa kini. Tentu saja selalu ada murid-muridnya yang selalu membela gurunya dan kebetulan beliau rajin menulis buku. Oleh para murid dan pembelanya, tulisan-tulisannya banyak diupload di internet dan memenuhi mesin pencari Google. Sehingga kalau ada orang awam yang tidak mengerti syariah mencari dengan Google, tulisan-tulisan yang membela pendapat Al-Albani terasa lebih dominan.
Hati-hati Belajar Agama Islam Lewat Internet Google.
Di luar masalah perbedaan pendapat antara yang mendukung adzan dan tidak mendukung, ada satu hal yang perlu kita perhatikan, yaitu hati-hati belajar agama Islam lewat internet atau Google apalagi asal ambil saja dan tidak memperhatikan sumber tulisan tersebut berasal dari mana.
Tak sedikit orang yang baru pulang pengajian langsung menuliskan apa yang disampaikan dipengajian dan di tayangkan dalam blog atau website tanpa memberikan dasar atau rujukannya, seperti yang saya lakukan saat ini. Yang sering muncul di halaman awal mesin pencari adalah artikel artikel yang mempunyai kesamaan judul dan isi dan yang paling banyak di buka oleh netizen. Jadi kalau yang ada di halaman awal mesin pencari itu artikel yang salah dan ternyata dijadikan dalil sebagai landasan amal oleh netizen maka ini yang harus diwaspadai. Untuk itu, informasi yang kita dapat dari internet yang isi ataupun sumbernya masih meragukan dan keliru, harus ditanyakan kepada orang yang berkapasitas untuk memberikan jawaban tersebut.
Menurut Ust Sarwat LC, Sejatinya beliau bukan ulama syariah (fiqih) dan sebenarnya ilmu haditsnya agak sedikit diperdebatkan di kalangan guru besar hadits masa kini. Tentu saja selalu ada murid-muridnya yang selalu membela gurunya dan kebetulan beliau rajin menulis buku. Oleh para murid dan pembelanya, tulisan-tulisannya banyak diupload di internet dan memenuhi mesin pencari Google. Sehingga kalau ada orang awam yang tidak mengerti syariah mencari dengan Google, tulisan-tulisan yang membela pendapat Al-Albani terasa lebih dominan.
Hati-hati Belajar Agama Islam Lewat Internet Google.
Di luar masalah perbedaan pendapat antara yang mendukung adzan dan tidak mendukung, ada satu hal yang perlu kita perhatikan, yaitu hati-hati belajar agama Islam lewat internet atau Google apalagi asal ambil saja dan tidak memperhatikan sumber tulisan tersebut berasal dari mana.
Tak sedikit orang yang baru pulang pengajian langsung menuliskan apa yang disampaikan dipengajian dan di tayangkan dalam blog atau website tanpa memberikan dasar atau rujukannya, seperti yang saya lakukan saat ini. Yang sering muncul di halaman awal mesin pencari adalah artikel artikel yang mempunyai kesamaan judul dan isi dan yang paling banyak di buka oleh netizen. Jadi kalau yang ada di halaman awal mesin pencari itu artikel yang salah dan ternyata dijadikan dalil sebagai landasan amal oleh netizen maka ini yang harus diwaspadai. Untuk itu, informasi yang kita dapat dari internet yang isi ataupun sumbernya masih meragukan dan keliru, harus ditanyakan kepada orang yang berkapasitas untuk memberikan jawaban tersebut.
Allahu a'lam... Semoga bermanfaat
[1] Al-Imam An-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Al-Muhzdzdzab, jilid 9 hal. 348
[2] Al-Albani, Silsilah Al-Ahadits Ad-Dha'ifah, jilid 1 hal. 320
[3] Al-Albani, Irwa' Al-Ghalil, jilid 4 hal. 401
[4] Mushannaf Abdurrazzaq, jilid 4 hal. 336
[5] Ibnu Qudamah, jilid 11 hal, 120
[6] Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul maudud bi ahkamil maulud, hal. 22.
[7] Nihayatul Muhtaj jilid 3 hal. 133
[8] http://www.binbaz.org.sa/mat/9646
Artikel terkait :
Ikhtiar Menyambut Buah Hati 1 -Sebuah Prolog : -Kisah Nabi Zakaria dan Nabi Ibrahim-
Ikhtiar Menyambut Buah Hati 2 : Program Kehamilan
Ikhtiar Menyambut Buah Hati 3 : Saat Buah Hati tak Kunjung Hadir
Ikhtiar Menyambut Buah Hati 4 : Sebuah Nasehat [Menahan Diri Untuk tidak Bertanya]
Ikhtiar Menyambut Buah Hati 5: Menjadi Calon Ayah Yang Siaga (Siap Antar dan Jaga)
Ikhtiar Menyambut Buah Hati 6 : Persiapan Finansial (Keuangan) Melahirkan
Ikhtiar Menyambut Buah Hati 7 : Persiapan Melahirkan Bagi Bunda (Orang tua)
Ikhtiar Menyambut Buah Hati 8 : Persiapan Kebutuhan Si Kecil (Bayi Baru Lahir)
Ikhtiar Menyambut Buah Hati 9 -Detik-Detik Persalinan
Ikhtiar Menyambut Buah Hati 10 -Sunah-Sunah Pada Bayi Baru Lahir
Ikhtiar Menyambut Buah Hati 11 -Memberi Adzan dan Iqomat Pada Bayi, Aku sih YES!!
Artikel terkait :
Ikhtiar Menyambut Buah Hati 1 -Sebuah Prolog : -Kisah Nabi Zakaria dan Nabi Ibrahim-
Ikhtiar Menyambut Buah Hati 2 : Program Kehamilan
Ikhtiar Menyambut Buah Hati 3 : Saat Buah Hati tak Kunjung Hadir
Ikhtiar Menyambut Buah Hati 4 : Sebuah Nasehat [Menahan Diri Untuk tidak Bertanya]
Ikhtiar Menyambut Buah Hati 5: Menjadi Calon Ayah Yang Siaga (Siap Antar dan Jaga)
Ikhtiar Menyambut Buah Hati 6 : Persiapan Finansial (Keuangan) Melahirkan
Ikhtiar Menyambut Buah Hati 7 : Persiapan Melahirkan Bagi Bunda (Orang tua)
Ikhtiar Menyambut Buah Hati 8 : Persiapan Kebutuhan Si Kecil (Bayi Baru Lahir)
Ikhtiar Menyambut Buah Hati 9 -Detik-Detik Persalinan
Ikhtiar Menyambut Buah Hati 10 -Sunah-Sunah Pada Bayi Baru Lahir
Ikhtiar Menyambut Buah Hati 11 -Memberi Adzan dan Iqomat Pada Bayi, Aku sih YES!!
Post a Comment for "Ikhtiar Menyambut Buah Hati 11 -Memberi Adzan dan Iqomat Pada Bayi, Aku sih YES!!"
Post a Comment
PERHATIAN :
Balasan dari komentar anonim/ unknown akan dihapus setelah 24 jam.
Menyisipkan Link hidup akan langsung DIHAPUS
Terimakasih sudah berkenan untuk berkunjung.
Simak juga komentar yang ada karena bisa jadi akan lebih menjawab pertanyaan yg akan diajukan.