Mengenang Tragedi Tanjung Priok 12 September 1984

Indonesia memiliki banyak peristiwa sejarah yang kelam, salah satunya adalah Tragedi Tanjung Priok yang terjadi pada tanggal 12 September 1984. Tragedi ini merupakan salah satu dari banyak peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di bawah rezim Orde Baru, di mana puluhan hingga ratusan nyawa melayang akibat tindakan represif aparat keamanan terhadap para demonstran. Hingga saat ini, peristiwa tersebut masih dikenang sebagai salah satu luka sejarah yang belum sepenuhnya sembuh, terutama bagi keluarga korban.

Latar Belakang Peristiwa

Untuk memahami Tragedi Tanjung Priok, kita perlu memahami situasi politik dan sosial Indonesia pada awal 1980-an. Pada masa itu, Indonesia dipimpin oleh Presiden Soeharto yang dikenal dengan kekuasaan Orde Barunya. Pemerintah Orde Baru sangat menekankan stabilitas politik dan keamanan, dan segala bentuk perbedaan pendapat atau protes yang dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas akan ditindak keras. Ini adalah masa di mana kritik terhadap pemerintah hampir tidak bisa diutarakan secara bebas, media dikendalikan, dan kekuasaan militer sangat besar.

Baca juga : Ritual 1 Syuro Tugu Soeharto Semarang

Salah satu kebijakan yang kontroversial pada masa itu adalah penerapan asas tunggal Pancasila, yang diberlakukan sebagai asas bagi semua organisasi di Indonesia, termasuk organisasi keagamaan. Kebijakan ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan umat Islam, yang merasa bahwa kebebasan beragama dan berorganisasi mereka terancam. Banyak yang memandang kebijakan ini sebagai bentuk campur tangan pemerintah yang berlebihan dalam urusan keagamaan.

Ketegangan antara kelompok Islam dan pemerintah memuncak di Tanjung Priok, sebuah wilayah di utara Jakarta yang pada saat itu menjadi pusat kegiatan kelompok-kelompok Islam. Pada tanggal 12 September 1984, terjadi demonstrasi besar-besaran yang dipicu oleh ketidakpuasan warga terhadap penangkapan seorang pemuda yang dianggap menghina pemerintah, serta tindakan represif aparat terhadap para tokoh agama yang menolak kebijakan pemerintah.

Kronologi Tragedi

Pada tanggal 7 September 1984, aparat keamanan melakukan penangkapan terhadap empat warga yang menempelkan selebaran di Masjid As-Sa’adah, Koja, Tanjung Priok, yang berisi seruan menolak asas tunggal Pancasila. Penangkapan ini memicu ketegangan yang semakin meningkat, terutama setelah empat warga tersebut tidak dibebaskan.

Tanggal 12 September 1984 menjadi puncak dari ketegangan ini. Ribuan warga yang dipimpin oleh tokoh agama setempat melakukan unjuk rasa menuntut pembebasan keempat orang tersebut. Demonstrasi berlangsung damai pada awalnya, namun situasi berubah menjadi mencekam ketika massa bertemu dengan aparat keamanan di depan Markas Komando Distrik Militer (Kodim) Tanjung Priok.

Menurut berbagai saksi mata, massa yang berjumlah ribuan orang berusaha menyampaikan aspirasi mereka secara damai, namun tiba-tiba aparat keamanan melepaskan tembakan. Tembakan tersebut menyebabkan kepanikan di antara demonstran. Banyak yang mencoba melarikan diri, tetapi aparat tetap menembak tanpa pandang bulu. Puluhan orang tewas di tempat, sementara ratusan lainnya terluka atau ditangkap.

Versi resmi pemerintah saat itu mengklaim bahwa tembakan dilepaskan karena massa bertindak anarkis dan menyerang aparat keamanan terlebih dahulu. Namun, para saksi mata dan laporan independen menyebutkan bahwa aparat menembak tanpa peringatan, bahkan terhadap warga yang tidak bersenjata dan tidak melakukan tindakan provokatif. Ini menambah ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah dan militer pada masa itu.

Dampak dan Reaksi Publik

Tragedi Tanjung Priok menyisakan luka yang dalam bagi banyak keluarga korban dan masyarakat luas. Banyak dari mereka yang kehilangan anggota keluarga, saudara, atau teman dalam peristiwa tersebut. Banyak korban tewas yang tidak teridentifikasi, dan proses pencarian keadilan bagi mereka terhambat oleh kuatnya cengkeraman Orde Baru pada institusi hukum dan media.

Banyak keluarga korban menuntut pertanggungjawaban pemerintah dan militer atas peristiwa tersebut. Namun, pada masa Orde Baru, segala bentuk tuntutan untuk mengusut tuntas kejadian ini tidak dihiraukan. Rezim Soeharto yang otoriter membuat penanganan kasus pelanggaran HAM sangat sulit. Banyak pihak yang terlibat dalam tragedi ini, termasuk para aparat militer, tidak diadili dan tidak pernah dimintai pertanggungjawaban secara hukum.


Baca juga : 4 Musium Instagenic di Jakarta

Baru setelah reformasi 1998, ketika rezim Soeharto tumbang, muncul harapan untuk mengungkap kebenaran di balik Tragedi Tanjung Priok. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk tim untuk menyelidiki peristiwa ini. Pada tahun 2003, kasus ini mulai disidangkan di Pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc. Beberapa perwira militer yang bertanggung jawab atas tragedi tersebut diadili, meskipun banyak di antara mereka yang akhirnya dibebaskan atau dihukum ringan.

Namun, bagi keluarga korban, keadilan yang diberikan tidaklah cukup. Banyak dari mereka yang merasa bahwa pemerintah belum sepenuhnya bertanggung jawab atas peristiwa ini. Mereka menuntut agar pemerintah memberikan kompensasi yang layak serta pengakuan resmi atas Tragedi Tanjung Priok sebagai pelanggaran HAM berat.

Upaya Melupakan atau Mengingat?

Tragedi Tanjung Priok tetap menjadi isu sensitif dalam sejarah Indonesia. Beberapa pihak berpendapat bahwa peristiwa ini sudah seharusnya dilupakan demi menjaga stabilitas nasional dan mencegah perpecahan lebih lanjut. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa peristiwa ini harus selalu diingat sebagai pelajaran agar pelanggaran HAM serupa tidak terulang lagi di masa depan.

Penting untuk mengakui bahwa melupakan sejarah yang kelam tidak akan membuat luka tersebut sembuh. Sebaliknya, hanya dengan mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan kepada para korban, bangsa ini bisa benar-benar belajar dari masa lalu dan melangkah ke masa depan yang lebih baik.

___________

Tragedi Tanjung Priok pada tanggal 12 September 1984 adalah salah satu contoh nyata dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Peristiwa ini bukan hanya tentang tindakan represif aparat terhadap demonstran, tetapi juga tentang bagaimana kekuasaan yang otoriter bisa menekan kebebasan rakyat dalam menyuarakan pendapat mereka.

Meskipun sudah lebih dari tiga dekade berlalu, kenangan akan Tragedi Tanjung Priok masih hidup dalam ingatan banyak orang, terutama bagi keluarga korban. Perjuangan untuk keadilan belum selesai, dan sejarah ini akan selalu menjadi pengingat bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan masa lalu, melainkan belajar darinya.

Dengan mengenang peristiwa ini, kita diingatkan akan pentingnya menjaga hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, dan keadilan, agar tragedi serupa tidak lagi terulang di masa mendatang.

Post a Comment for "Mengenang Tragedi Tanjung Priok 12 September 1984"