Mengkritik Boleh, tapi baiknya langsung disampaikan keorangnya langsung.
Seorang ahli hikmah berkata, aku tidak pernah menyesali apa yang tidak aku ucapkan, namun aku sering sekali menyesali perkataan yang aku ucapkan. Ketahuilah, lisan yang nista lebih membahayakan pemiliknya daripada membahayakan orang lain yang menjadi korbannya. (mengutip perkataan, Dr. Aidh Bin Abdullah Al-Qarni. M.A.)
Perhatikan sabda Rasulullah SAW berikut ini: ”Aku peringatkan kepada kalian tentang prasangka, karena sesungguhnya prasangka adalah perkataan yang paling bohong, dan janganlah kalian berusaha untuk mendapatkan informasi tentang kejelekan dan mencari-cari kesalahan orang lain, jangan pula saling dengki, saling benci, saling memusuhi, jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara” (H.R Bukhari, no (6064) dan Muslim, no (2563).
”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Al Hujuraat [49] : 12)
”Tahukah kalian apa itu ghibah? Jawab para sahabat : Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui. Maka kata Nabi saw: “engkau membicarakan saudaramu tentang apa yang tidak disukainya. Kata para sahabat: Bagaimana jika pada diri saudara kami itu benar ada hal yang dibicarakan itu? Jawab Nabi SAW: Jika apa yang kamu bicarakan benar-benar ada padanya maka kamu telah mengghibah-nya, dan jika apa yang kamu bicarakan tidak ada padanya maka kamu telah membuat kedustaan atasnya.”(HR Muslim/2589, Abu Daud 4874, Tirmidzi 1935)
Abdullah bin Umar ra menyampaikan hadits yang sama, ia berkata, ” suatu hari Rasulullah SAW naik ke atas mimbar, lalu menyeru dengan suara yang tinggi :”Wahai sekalian orang yang mengaku berislam dengan lisannya dan iman itu belum sampai ke dalam hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, janganlah menjelekkan mereka, jangan mencari cari aurot mereka. Karena orang yang suka mencari cari aurot saudaranya sesama muslim, Allah akan mencari cari aurotnya. dan siapa yang dicari cari aurotnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya walau ia berada di tengah tempat tinggalnya (HR. At Tirmidzi no. 2032, HR. Ahmad 4/420. 421, 424 dan Abu Dawud no. 4880. hadits shahih) (keterangan: yang dimaksud dengan aurot disini adalah aib/cela atau cacat, kejelekan dan kesalahan. Dilarang mencari cari kejelekan/kesalahan seorang muslim untuk kemudian diungkapkan kepada manusia – tuhfatul Ahwadzi).
Ibnu Rajab berkata:
Perhatikan sabda Rasulullah SAW berikut ini: ”Aku peringatkan kepada kalian tentang prasangka, karena sesungguhnya prasangka adalah perkataan yang paling bohong, dan janganlah kalian berusaha untuk mendapatkan informasi tentang kejelekan dan mencari-cari kesalahan orang lain, jangan pula saling dengki, saling benci, saling memusuhi, jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara” (H.R Bukhari, no (6064) dan Muslim, no (2563).
”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Al Hujuraat [49] : 12)
”Tahukah kalian apa itu ghibah? Jawab para sahabat : Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui. Maka kata Nabi saw: “engkau membicarakan saudaramu tentang apa yang tidak disukainya. Kata para sahabat: Bagaimana jika pada diri saudara kami itu benar ada hal yang dibicarakan itu? Jawab Nabi SAW: Jika apa yang kamu bicarakan benar-benar ada padanya maka kamu telah mengghibah-nya, dan jika apa yang kamu bicarakan tidak ada padanya maka kamu telah membuat kedustaan atasnya.”(HR Muslim/2589, Abu Daud 4874, Tirmidzi 1935)
Abdullah bin Umar ra menyampaikan hadits yang sama, ia berkata, ” suatu hari Rasulullah SAW naik ke atas mimbar, lalu menyeru dengan suara yang tinggi :”Wahai sekalian orang yang mengaku berislam dengan lisannya dan iman itu belum sampai ke dalam hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, janganlah menjelekkan mereka, jangan mencari cari aurot mereka. Karena orang yang suka mencari cari aurot saudaranya sesama muslim, Allah akan mencari cari aurotnya. dan siapa yang dicari cari aurotnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya walau ia berada di tengah tempat tinggalnya (HR. At Tirmidzi no. 2032, HR. Ahmad 4/420. 421, 424 dan Abu Dawud no. 4880. hadits shahih) (keterangan: yang dimaksud dengan aurot disini adalah aib/cela atau cacat, kejelekan dan kesalahan. Dilarang mencari cari kejelekan/kesalahan seorang muslim untuk kemudian diungkapkan kepada manusia – tuhfatul Ahwadzi).
NASEHAT PARA ULAMA TENTANG "MENASEHATI SECARA RAHASIA"
Nasehat diberikan secara rahasia, sedangkan celaan disampaikan secara terang-terangan. Dalam hal ini Fudhail bin ‘Iyadh rahimahumullah berkata:
“Seorang mukmin menjaga rahasia dan memberi nasehat. Seorang fajir membongkar rahasia dan mencela”. (Al Farqu Baynan Nashiah Wat Ta’yir)
Ibnu Rajab berkata:
“Apa yang diucapkan oleh Fudhail ini merupakan tanda-tanda nasehat. Sesungguhnya nasehat digandeng dengan rahasia. Sedangkan celaan digandeng dengan terang-terangan.” (Al Farqu Baynan Nashiah Wat Ta’yir)
Al-Imam Ibnu Hibban rahimahullah (wafat tahun 354 H) berkata:
"Nasehat itu merupakan kewajiban manusia semuanya, sebagaimana telah kami sebutkan sebelum ini,
tetapi dalam teknik penyampaiannya haruslah dengan secara rahasia, tidak boleh tidak,
karena barangsiapa yang menasehati saudaranya di hadapan orang lain, maka berarti dia telah mencelanya,
dan barangsiapa yang menasehatinya secara rahasia, maka berarti dia telah memperbaikinya.
Sesungguhnya penyampaian dengan penuh perhatian kepada saudaranya sesama muslim adalah kritik yang membangun,
lebih besar kemungkinannya untuk diterima dibandingkan penyampaian dengan maksud mencelanya."
Kemudian Al-Imam Ibnu Hibban rahimahullah menyebutkan dengan sanadnya sampai kepada Sufyan, ia berkata:
"Saya berkata kepada Mis'ar, "Apakah engkau suka apabila ada orang lain memberitahumu akan kekurangan-kekuranganmu?"
Maka ia berkata, "Apabila yang datang adalah orang yang memberitahukan kekurangan-kekuranganku dengan cara menjelek-jelekkanku,
maka saya tidak senang, tetapi apabila yang datang kepadaku adalah seorang pemberi nasehat, maka saya senang."
Kemudian Imam Ibnu Hibban berkata bahwa Muhammad bin Said Al-Qazzaz telah memberitahukan kepada kami,
Muhammad bin Manshur telah menceritakan kepada kami, Ali Ibnul Madini telah menceritakan kepadaku, dari Sufyan,
ia berkata: Thalhah datang menemui Abdul Jabbar bin Wail, dan di situ banyak terdapat orang,
maka ia berbicara dengan Abdul Jabbar menyampaikan sesuatu dengan rahasia, kemudian setelah itu beliau pergi.
Maka Abdul Jabbar bin Wail berkata,
"Apakah kalian tahu apa yang ia katakan tadi kepadaku? Ia berkata, 'Saya melihatmu ketika engkau sedang shalat kemarin sempat melirik ke arah lain'."
Abu Hatim (Imam Ibnu Hibban) rahimahullah berkata:"Nasehat apabila dilaksanakan seperti apa yang telah kami sebutkan, akan melanggengkan kasih sayang, dan menyebabkan terealisasinya hak ukhuwah." 1)
Al Imam Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said Ibnu Hazm rahimahullah (wafat tahun 456 H) berkata:"Maka wajib atas seseorang untuk selalu memberi nasehat, baik yang diberi nasehat itu suka ataupun benci, tersinggung atau tidak tersinggung.
Apabila engkau memberi nasehat, maka nasehatilah secara rahasia, jangan di hadapan orang lain,
dan cukup dengan memberi isyarat tanpa terus terang secara lansung, kecuali apabila orang yang dinasehati tidak memahami isyaratmu, maka harus secara terus terang.
jika engkau melampaui adab-adab tadi, maka engkau orang yang zalim, bukan pemberi nasehat,
dan gila ketaatan serta gila kekuasaan, bukan pemberi amanat dan pelaksana hak ukhuwah.
Ini bukanlah termasuk hukum akal dan hukum persahabatan, melainkan hukum rimba, seperti seorang penguasa dengan rakyatnya, dan tuan dengan hamba sahayanya." 2)
Imam Ibnu Rajab rahimahullah (wafat tahun 795 H) berkata:"Al Fudhail (wafat tahun 187 H) berkata,
"Seorang mu'min menutup (aib saudaranya) dan menasehatinya sedangkan seorang fajir (pelaku maksiat) membocorkan (aib saudaranya) dan memburuk-burukkan."
Apa yang disebutkan oleh Al Fudhail ini merupakan ciri antara nasehat dan memburuk-burukkan.
Yaitu bahwa nasehat itu dengan secara rahasia, sedangkan menjelek-jelekkan itu ditandai dengan penyiaran.
Sebagaimana dikatakan, "Barangsiapa mengingatkan saudaranya di tengah-tengah orang banyak, maka ia telah menjelek-jelekkannya."
Begitulah kurang lebih maknanya.
Dan orang-orang salaf membenci amar ma'ruf nahi munkar secara terang-terangan, mereka suka kalau dilakukan secara rahasia antara yang menasehati dengan yang dinasehati,
dan ini merupakan ciri nasehat yang murni dan ikhlas karena si penasehat tidak mempunyai tujuan untuk menyebarluaskan aib-aib orang yang dinasehatinya,ia hanya mempunyai tujuan menghilangkan kesalahan yang dilakukannya.
Sedangkan menyebarluaskan dan menampakkan aib-aib orang lain, maka hal tersebut termasuk yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya.
Allah berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui." (Surat An-Nuur: 19)
Dan hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan menutup aib seorang muslim tidak terhitung banyaknya." 3)
Ada sebuah syair yang dinisbahkan kepada Imam Syafi'i rahimahullah (204 H), syair itu berbunyi:
"Hendaklah engkau sengaja mendatangiku untuk memberi nasehat ketika aku sendirian
Hindarilah memberikan nasehat kepadaku di tengah khalayak ramai
Karena sesungguhnya memberi nasehat di hadapan banyak orang
Sama saja dengan memburuk-burukkan, saya tidak suka mendengarnya
Jika engkau menyalahi saya dan tidak mengikuti ucapanku
Maka jangalah engkau kaget apabila nasehatmu tidak ditaati." 4)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin hafizhahullah berkata:
"Perlu diketahui bahwa nasehat itu adalah pembicaraan yang dilakukan secara rahasia antaramu dengannya,
karena apabila engkau menasehatinya secara rahasia dengan empat mata, maka sangat membekas pada dirinya, dan dia tahu bahwa engkau pemberi nasehat,
tetapi apabila engkau bicarakan dia di hadapan orang banyak,
maka besar kemungkinan bangkit kesombongannya yang menyebabkan ia berbuat dosa dengan tidak menerima nasehat,
dan mungkin pula ia menyangka bahwa engkau hanya ingin balas dendam dan mendiskreditkannya serta untuk menjatuhkan kedudukannya di mata manusia sehingga ia tidak menerima isi nasehat tersebut.
Tetapi apabila dilakukan secara rahasia antara kamu dan dia berdua, maka nasehatmu itu amat berarti baginya, dan dia akan menerima darimu." 5)
Seorang pemberi nasehat wajib menunaikan hak saudaranya seiman yang memang wajib untuk ia tunaikan. Sehingga ia mendapatkan pahala dari nasehat yang ia berikan untuk saudaranya. Adapun celaan, mengoyak hak-hak hamba Allah, memecah belah persatuan serta merusak agama mereka. Lebih jauh lagidia berdosa di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai balasan atas perbuatannya yang menyakiti hamba-hamba Allah dengan cara menyebarkan gangguan dan kekejian di tengah mereka. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.''(QS. An-Nuur: 19)
B. KAPAN DIBOLEHKAN MEMBERI NASEHAT DI HADAPAN ORANG LAIN?
Saudara-saudaraku! Walaupun demikian ada beberapa perkecualian yang membolehkan atau mengharuskan seseorang untuk menasehati orang lain di depan orang banyak.
Salah seorang khatib dan imam masjid di kota Al-Khubar, Saudi Arabia dalam salah satu khutbah Jum'atnya mengatakan:
"Ummat Islam, mereka itu memiliki kehormatan dan harga diri, oleh karena itu haruslah kita menjaga hak-hak dan kehormatan mereka,
haruslah kita memelihara perasaan mereka, tetapi kadang-kadang sesuatu nasehat yang akan engkau sampaikan kepada orang lain apabila engkau tunda,
maka akan terlambat, maka harus sekarang juga engkau menasehatinya sebelum terlambat.
Contohnya, sebagaimana terdapat dalam Shahih Muslim (Juz 6 hal. 142-143 no. 58 (875), pent) dari Jabir radhiallahu 'anhu bahwasanya ia berkata:
Sulaik Al Ghathafani datang (ke masjid) hari Jum'at dan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam sedang duduk di atas mimbar (dalam riwayat lainnya dari Imam Muslim juga, beliau sedang berkhutbah, pent),
maka Sulaik langsung duduk tanpa shalat terlebih dahulu, maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bertanya kepadanya.
"Apakah engkau telah melaksanakan shalat dua rakaat?" Ia berkata, "Belum," maka beliau memerintahkan kepadanya, "Bangunlah dan shalatlah dua rakaat!"
Ini bukanlah sedang memburuk-burukkan atau menyiarkan kesalahan orang tersebut, karena saat itu adalah waktu yang tepat untuk menasehatinya,
apabila dibiarkan, maka akan terlewatkan, karena Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam memerintahkan setiap muslim yang masuk ke dalam masjid agar shalat dua rakaat terlebih dahulu sebelum ia duduk.
Perintah tersebut mengharuskan untuk dilaksanakan pada saat itu juga tidak bisa ditunda sampai selesai shalat Jum'at.
Akan tetapi apabila memungkinkan bagimu untuk menunda nasehat sampai selesainya majelis,
lalu engkau menasehati seseorang di hadapan orang lain di majelis tersebut, maka hal itu tidak benar."
Penyusun menambahkan dari contoh lain.
Pernah terjadi di masa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam seorang yang makan menggunakan tangan kirinya,
maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menegurnya, "Makanlah dengan tangan kananmu!" Orang tersebut menjawab, "Saya tidak dapat,"
maka beliau mendo'akan keburukan untuknya dengan mengatakan, "Semoga engkau tidak dapat,"
maka langsung saja tangan orang tersebut lumpuh sehingga tidak dapat memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
Orang tersebut tidak mau mentaati perintah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam karena sombong. (lihat kisah ini dalam Shahih Muslim no. 2021)
Syaikh Salim Al-Hilali mengatakan tentang fiqh hadits di atas, di antaranya:
"Boleh menasehati seseorang di hadapan orang banyak apabila di dalamnya terdapat kebaikan bagi semuanya." 6)
Apabila terhadap teman, kita harus memiliki adab yang baik dalam menegur kesalahannya, maka lebih-lebih lagi apabila kita hendak menegur kesalahan seorang guru.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa'di rahimahullah berkata :
"Apabila seorang penuntut ilmu mendapatkan gurunya berbuat kesalahan maka janganlah menyebutkan kesalahan tersebut dengan terus terang,
tetapi betulkanlah kesalahan dia dengan cara bertanya dan bersikap sebagai seorang siswa terhadap gurunya,
dan berbuat demikianlah dengan cara berulang-ulang sampai terang bagi sang guru mana yang benar, karena kebanyakan manusia apabila engkau tegur secara lansung kesalahannya,
kecil sekali kemungkinannya untuk rujuk, berat bagi dia untuk mengakui kesalahannya,
kecuali orang yang dapat menguasai dirinya dan menghiasinya dengan akhlak yang terpuji, maka dia tidak tersinggung apabila pendapat dia dikritik, dan kesalahannya ditegur secara langsung,
dan tipe orang seperti ini jarang sekali, hanya dengan taufiq Allah-lah kemudian dengan melatih jiwa untuk menekan gengsi, barulah orang tersebut akan mempunyai jiwa besar dengan mengakui kesalahannya dan rujuk kepada kebenaran." 7)
Dalam halaman lain, beliau berkata:
"Apabila sang guru berbuat kesalahan dalam suatu hal, maka hendaklah seorang penuntut ilmu menegurnya dengan penuh lemah lembut sambil memperhatikan situasi dan kondisi,
janganlah mengatakan kepadanya, "Engkau telah berbuat salah!" atau "Sesungguhnya yang benar bukan seperti yang engkau katakan!",
tetapi hendaklah menegurnya dengan kata-kata yang sopan, menjadikan seorang guru sadar akan kesalahannya tanpa ada rasa gusar di hatinya,
karena cara seperti ini merupakan keharusan dalam bersikap terhadap seorang guru,
juga cara seperti ini lebih mengena untuk sampai kepada kebenaran,
karena sesungguhnya kritikan yang disertai dengan adab yang buruk membuat hati orang yang dikritik menjadi gusar
sehingga akan menghalanginya untuk dapat menangkap pemahaman yang benar dan menghalanginya untuk mengetahui maksud baik orang yang menegurnya."
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya oleh seseorang :
"Apakah yang harus saya lakukan terhadap salah seorang guru ketika ia salah dalam pendapatnya,
khususnya dalam mata pelajaran dien Al Islam dan saya tahu dengan pasti jawaban yang benar?"
Maka Syaikh menjawab:
"Ini pertanyaan yang penting di mana kita dapatkan bahwa sebagian dari para guru tidak mau dikoreksi oleh siapa pun, meskipun ia berbuat kesalahan yang banyak.
Sikap yang demikian tidaklah benar, karena setiap manusia tidak lepas dari kesalahan, dan manusia apabila berbuat kesalahan lalu ditegur,
maka itu merupakan nikmat Allah yang Ia berikan kepadanya, supaya manusia tidak tertipu disebabkan kesalahannya.
Akan tetapi bagi siswa haruslah mempunyai kecerdikan, janganlah menegurnya di hadapan siswa-siswa yang lain,
karena hal ini menyalahi adab, tetapi tundalah sampai selesai pelajaran (secara empat mata),
apabila sang guru tadi menerimanya, maka ia harus menyampaikan ralatnya di hadapan para siswa pada pelajaran berikutnya,
dan apabila tidak menerimanya, maka si siswa harus menyampaikan koreksiannya di hadapan siswa-siswa yang lain pada pelajaran berikutnya,
sambil mengatakan misalnya bahwa ustadz pernah menyampaikan begini dan begitu, dan ini adalah tidak benar." 8)
Sebagian orang –semoga Allah memberi mereka petunjuk- mengira bahwa nasehat yang disampaikan kepada mereka adalah bentuk kelancangan dan kekurangajaran. Terlepas dari keras atau lembut cara menasehatinya, maka tidak selayaknya seorang yang munshif (bersikap adil dan objektif) mencampakkan kebenaran gara-gara kebenaran tersebut datang dengan cara yang tidak berkenan atau kurang pas dalam pandangannya. Ya, itu sah-sah saja seorang menilai bahwa cara orang lain dalam menasihatinya tidak pas atau tidak beradab. Namun, bukan itu yang kita bicarakan! Yang kita maksud adalah kesadaran hati pada diri orang yang mendapatkan teguran agar kembali kepada Allah, dan menyadari kekeliruannya –jika itu sebuah kekeliruan- tanpa menyimpan dendam. Bukankah Allah memerintahkan kita untuk memberikan maaf dan berlapang dada dalam menyikapi kekurangan saudara kita? Bukankah kita pun senang jika kita diperlakukan demikian? Maka alangkah tidak bijaknya kita ketika kita menyadari bahwa hujjah-hujjah yang kita miliki ternyata tidak cukup kuat untuk mempertahankan sikap kita yang keliru atau kurang bijak, kemudian dalam kondisi seperti itu pun kita masih menuntut orang lain secara berlebihan untuk bersikap bijak dan sopan dalam menegur kita. Sementara kita dengan begitu leluasa memuntahkan sejuta alasan untuk menjatuhkan orang yang berbeda pendapat dengan kita. Di sisi lain kita tidak memberikan kesempatan baginya untuk melontarkan kritik kepada kita.
Footnote;
1 Raudhatul 'Uqala wa Nuzhatul Fudhala, hal. 328-329
2 Al Akhlak wa As Siyar fi Mudaawaati An Nufus, hal. 45
3 Al Farqu baina An Nashihah wa At Ta'yiir, hal. 28-29
4 Diwan Asy Syafi'i, hal. 56
5 Syarah Riyadhus Shalihin, juz 4 hal. 483
6 Bahjatun Naadzirin, juz I hal. 240
7 Al Mu'in 'ala Tahshili Aadaabil 'Ilmi wa Akhlaakil Muta'allimiin, hal. 33-34
8 Kitabul 'Ilmi, hal. 160-161
Post a Comment for "Mengkritik Boleh, tapi baiknya langsung disampaikan keorangnya langsung."
Post a Comment
PERHATIAN :
Balasan dari komentar anonim/ unknown akan dihapus setelah 24 jam.
Menyisipkan Link hidup akan langsung DIHAPUS
Terimakasih sudah berkenan untuk berkunjung.
Simak juga komentar yang ada karena bisa jadi akan lebih menjawab pertanyaan yg akan diajukan.