ADAB MENASEHATI (bagian 2)
Menasehati Secara Rahasia
Untuk menjaga hati dan perasaan,
banyak orang menyampaikan nasehat dengan cara langsung kepersonal orangnya
ataupun dengan cara sembunyi sembunyii. Sejatinya, nasihat dan celaan itu
bedanya sangat tipis. Nasehat diberikan secara rahasia, sedangkan celaan disampaikan
secara terang-terangan. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahumullah berkata:
“Seorang mukmin menjaga rahasia dan memberi nasehat. Seorang fajir
membongkar rahasia dan mencela”. (Al Farqu Baynan Nashiah Wat
Ta’yir)
Perkataan Fudhail bin Iyad
dibenarakan dan diperkuat oleh perkataan Ibnu Rajab :
“Apa yang diucapkan oleh Fudhail
ini merupakan tanda-tanda nasehat. Sesungguhnya nasehat digandeng dengan
rahasia. Sedangkan celaan digandeng dengan terang-terangan.” (Al
Farqu Baynan Nashiah Wat Ta’yir)
Al-Imam Ibnu Hibban rahimahullah
(wafat tahun 354 H) berkata: "Nasehat itu merupakan kewajiban manusia
semuanya, sebagaimana telah kami sebutkan sebelum ini, tetapi dalam teknik
penyampaiannya haruslah dengan secara rahasia, tidak boleh tidak, karena
barangsiapa yang menasehati saudaranya di hadapan orang lain, maka berarti dia
telah mencelanya, dan barangsiapa yang menasehatinya secara rahasia, maka
berarti dia telah memperbaikinya. Sesungguhnya penyampaian dengan penuh
perhatian kepada saudaranya sesama muslim adalah kritik yang
membangun, lebih besar kemungkinannya untuk diterima dibandingkan penyampaian
dengan maksud mencelanya."
Dari pendapat diatas jelaslah hendaknya kritik atau
nasehat disampaiakan dengan cara yang baik dan tidak melukai perasaan dengan
cara mengungkapkannya langsung secara personal tidak di hadapan forum atau
untuk kehati-hatian hendaknya dilakkukan dengan secara sembunyi sembunyi.
Kemudian Al-Imam Ibnu Hibban
rahimahullah menyebutkan dengan sanadnya sampai kepada Sufyan, ia berkata: "Saya
berkata kepada Mis'ar, "Apakah engkau suka apabila ada orang lain
memberitahumu akan kekurangan-kekuranganmu?" Maka ia berkata,
"Apabila yang datang adalah orang yang memberitahukan
kekurangan-kekuranganku dengan cara menjelek-jelekkanku, maka saya tidak senang,
tetapi apabila yang datang kepadaku adalah seorang pemberi nasehat, maka saya
senang."
Kemudian Imam Ibnu Hibban berkata
bahwa Muhammad bin Said Al-Qazzaz telah memberitahukan kepada kami, Muhammad
bin Manshur telah menceritakan kepada kami, Ali Ibnul Madini telah menceritakan
kepadaku, dari Sufyan, ia berkata: Thalhah datang menemui Abdul Jabbar bin
Wail, dan di situ banyak terdapat orang, maka ia berbicara dengan Abdul Jabbar
menyampaikan sesuatu dengan rahasia, kemudian setelah itu beliau pergi. Maka
Abdul Jabbar bin Wail berkata, "Apakah kalian tahu apa yang ia katakan
tadi kepadaku? Ia berkata, 'Saya melihatmu ketika engkau sedang shalat kemarin
sempat melirik ke arah lain'."
Abu Hatim (Imam Ibnu Hibban)
rahimahullah berkata:"Nasehat apabila dilaksanakan seperti apa yang telah
kami sebutkan, akan melanggengkan kasih sayang, dan menyebabkan terealisasinya
hak ukhuwah." (Raudhatul 'Uqala wa Nuzhatul Fudhala, hal. 328-329)
Al Imam Abu Muhammad Ali bin Ahmad
bin Said Ibnu Hazm rahimahullah (wafat tahun 456 H) berkata:"Maka wajib
atas seseorang untuk selalu memberi nasehat, baik yang diberi nasehat itu suka
ataupun benci, tersinggung atau tidak tersinggung. Apabila engkau memberi
nasehat, maka nasehatilah secara rahasia, jangan di hadapan orang lain, dan
cukup dengan memberi isyarat tanpa terus terang secara lansung, kecuali apabila
orang yang dinasehati tidak memahami isyaratmu, maka harus secara terus terang.
jika engkau melampaui adab-adab tadi, maka engkau orang yang zalim, bukan
pemberi nasehat, dan gila ketaatan serta gila kekuasaan, bukan pemberi amanat
dan pelaksana hak ukhuwah. ni bukanlah termasuk hukum akal dan hukum
persahabatan, melainkan hukum rimba, seperti seorang penguasa dengan
rakyatnya, dan tuan dengan hamba sahayanya." ( Al Akhlak wa As Siyar
fi Mudaawaati An Nufus, hal. 45)
Dan orang-orang salaf membenci amar
ma'ruf nahi munkar secara terang-terangan, mereka suka kalau dilakukan secara
rahasia antara yang menasehati dengan yang dinasehati, dan ini merupakan ciri
nasehat yang murni dan ikhlas karena si penasehat tidak mempunyai tujuan untuk
menyebarluaskan aib-aib orang yang dinasehatinya,ia hanya mempunyai tujuan
menghilangkan kesalahan yang dilakukannya. Sedangkan menyebarluaskan dan
menampakkan aib-aib orang lain, maka hal tersebut termasuk yang diharamkan oleh
Allah dan RasulNya.
Allah berfirman: Sesungguhnya
orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan keji itu tersiar di kalangan
orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat.
Dan Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui." (Surat An-Nuur: 19)
Ada sebuah syair yang dinisbahkan
kepada Imam Syafi'i rahimahullah (204 H), syair itu berbunyi:
"Hendaklah engkau sengaja
mendatangiku untuk memberi nasehat ketika aku sendirian
Hindarilah memberikan nasehat
kepadaku di tengah khalayak ramai
Karena sesungguhnya memberi nasehat
di hadapan banyak orang
Sama saja dengan memburuk-burukkan,
saya tidak suka mendengarnya
Jika engkau menyalahi saya dan tidak
mengikuti ucapanku
Maka jangalah engkau kaget apabila
nasehatmu tidak ditaati." Diwan Asy Syafi'i, hal. 56)
Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin hafizhahullah berkata:
"Perlu diketahui bahwa nasehat
itu adalah pembicaraan yang dilakukan secara rahasia antaramu dengannya, karena
apabila engkau menasehatinya secara rahasia dengan empat mata, maka sangat
membekas pada dirinya, dan dia tahu bahwa engkau pemberi nasehat, tetapi
apabila engkau bicarakan dia di hadapan orang banyak, maka besar kemungkinan
bangkit kesombongannya yang menyebabkan ia berbuat dosa dengan tidak menerima
nasehat, dan mungkin pula ia menyangka bahwa engkau hanya ingin balas dendam
dan mendiskreditkannya serta untuk menjatuhkan kedudukannya di mata manusia sehingga
ia tidak menerima isi nasehat tersebut. Tetapi apabila dilakukan secara rahasia
antara kamu dan dia berdua, maka nasehatmu itu amat berarti baginya,
dan dia akan menerima darimu." (Syarah Riyadhus Shalihin, juz 4 hal. 483)
Seorang pemberi nasehat wajib
menunaikan hak saudaranya seiman yang memang wajib untuk ia tunaikan. Sehingga
ia mendapatkan pahala dari nasehat yang ia berikan untuk saudaranya. Adapun
celaan, mengoyak hak-hak hamba Allah, memecah belah persatuan serta merusak
agama mereka. Lebih jauh lagidia berdosa di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala
sebagai balasan atas perbuatannya yang menyakiti hamba-hamba Allah dengan cara
menyebarkan gangguan dan kekejian di tengah mereka. Allah ‘Azza wa Jalla
berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar
(berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang
beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah
mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.''(QS. An-Nuur: 19)
Allahu’alam biishowab
Post a Comment for "ADAB MENASEHATI (bagian 2)"
Post a Comment
PERHATIAN :
Balasan dari komentar anonim/ unknown akan dihapus setelah 24 jam.
Menyisipkan Link hidup akan langsung DIHAPUS
Terimakasih sudah berkenan untuk berkunjung.
Simak juga komentar yang ada karena bisa jadi akan lebih menjawab pertanyaan yg akan diajukan.